Sebagian masyarakat Indonesia menganggap bahwa jika seseorang tidak
memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP), maka tidak memiliki hak
perpajakan serta tidak akan dikenai kewajiban perpajakan. Tanpa NPWP
dianggap tanpa masalah pajak, tak perlu bayar pajak, tak perlu lapor
pajak, tak perlu takut ditagih pajak, tak perlu ngeri dipenjara karena
pajak, dan sederet keuntungan lainnya.
Sangat patut diduga sebagian besar masyarakat Indonesia memiliki
pemahaman demikian, mendorong sebagian mereka selalu menghindar dari
memiliki NPWP. Benarkah pemahaman tersebut di atas? Benarkah kepemilikan
NPWP adalah awal berlakunya hak dan kewajiban perpajakan? Tidak
mungkinkah terhadap seseorang yang belum memiliki NPWP diberikan
kewajiban membayar sejumlah utang pajak? Mustahilkah seseorang yang tak
memiliki NPWP dituntut pidana penjara karena masalah perpajakan? Wajib
Pajak Sebelum diulas lebih lanjut, sebutan bagi kata “seseorang”
sebagaimana tersebut di atas akan diganti dengan kata “wajib pajak”.
Perubahan atau pergantian penyebutan ini perlu disampaikan di awal
tulisan, mengingat pada dasarnya, bagi setiap orang yang berada di
Indonesia telah dikenai kewajiban perpajakan sejak hari pertama berada
di Indonesia. Kewajiban tersebut adalah melakukan self assessment
sudahkah pada dirinya terpenuhi syarat subjektif dan objektif timbulnya
pajak penghasilan. Hal ini terkandung dalam UU NO.6 tahun 1983 beserta
perubahannya (UU KUP) yang menyebutkan kata “wajib pajak” bahkan sebelum
terpenuhinya syarat subjektif dan objektif (Pasal 2 ayat (1) beserta
penjelasannya).
NPWP dan Syarat Subjektif-Objektif Jawaban bagi pertanyaan-pertanyaan
pada paragraph kedua tulisan ini adalah “YA” yang merupakan jawaban
bercanda, sedangkan jawaban yang benar adalah “TIDAK”. Jawaban “YA”
adalah jawaban bercanda, karena memang sebelum segala kewajiban, denda,
dan sanksi di bidang perpajakan diberikan, wajib pajak haruslah memiliki
NPWP, sebagai identitas di bidang perpajakan. Hanya saja, NPWP
diberikan kepada wajib pajak tidak hanya karena wajib pajak mendaftarkan
diri untuk memiliki NPWP, tetapi Direktorat Jenderal Pajak (DJP) dapat
memberikan NPWP kepada wajib pajak secara paksa yang disebut “Secara
Jabatan”, jika terpenuhi syarat tertentu.
Syarat tersebut adalah telah ditemukan informasi dan/atau data yang
mengindikasikan bahwa pada diri wajib pajak telah terpenuhi syarat
subjektif dan objektif untuk memiliki NPWP. Apakah yang dimaksud dengan
syarat subjektif dan objektif? Tulisan ini akan sedikit mengulasnya,
namun tidak secara lengkap dan mendalam. Telaah lengkap dan mendalam
dapat dilakukan dengan merujuk pada peraturan perpajakan yang berlaku,
yaitu pasal 2 ayat (1) UU KUP; pasal 2 dan pasal 3 UU No.7 tahun 1983
(UU PPh) beserta perubahannya (syarat subjektif); serta pasal 4 UU PPh
(syarat objektif). Telaah Lebih lanjut dapat merujuk pada aturan
pelaksanaan, diantaranya Peraturan Menteri Keuangan (PMK) RI No.73 tahun
2012 (pasal 2).
Pertama, Syarat Subjektif. Dalam pengertian sederhana, syarat
subjektif wajib ber-NPWP menyebutkan jika wajib pajak adalah Warga
Negara Indonesia (WNI), maka syarat subjektif serta merta telah
terpenuhi, sedangkan bagi WNA, syarat subjektif telah terpenuhi jika
wajib pajak berada di Indonesia selama 183 (seratus delapan puluh tiga)
hari dalam 12 bulan.
Kedua, Syarat Objektif. Dalam pengertian sederhana, syarat objektif
wajib ber-NPWP adalah syarat yang berkenaan dengan penghasilan, baik
penghasilan wajib pajak sendiri maupun penghasilan orang lain yang
berhubungan dengan pekerjaan wajib pajak. Hal yang berkenaan dengan
penghasilan tidak saja berupa jumlah nominal penghasilan, tetapi juga
jenis dan sifat usaha atau kegiatan wajib pajak yang dengannya timbul
penghasilan.
Sebagai contoh, bagi wajib pajak karyawan, syarat objektif terpenuhi
pada saat jumlah nominal penghasilan (dalam setahun atau disetahunkan)
lebih dari Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) –PTKP bagi diri sendiri
lajang adalah Rp24.300.000,-/tahun, sedangkan bagi wajib pajak orang
pribadi non karyawan yang menjalankan usaha atau melakukan pekerjaan
bebas, syarat objektif telah terpenuhi sejak dia menjalankan
pekerjaannya atau melakukan kegiatannya (namun kewajiban ber-NPWP baru
diberlakukan 1 (satu) bulan kemudian).
Selanjutnya diatur pula hak wajib pajak untuk dapat memiliki NPWP
tanpa memandang besarnya nominal penghasilan dan jenis pekerjaan, yaitu
pada saat wajib pajak berkeinginan memiliki NPWP, maka saat itu pula
bisa mendaftarkan diri ke Kantor Pelayanan Pajak sesuai domisili wajib
pajak untuk diberikan NPWP.
Ber-NPWP adalah Kewajiban Ikutan Pada saat telah terpenuhinya syarat
subjektif dan objektif, maka bagi wajib pajak telah terutang pajak
(penghasilan) dan karenanya dia membutuhkan identitas perpajakan, yaitu
NPWP untuk memenuhi kewajiban (dan hak) perpajakannya, karena jika dia
tidak memiliki NPWP tentu tidak akan dapat dilakukan pengadministrasian
pembayaran pajak yang akan/telah dilakukannya.
Jadi sesungguhnya memiliki NPWP adalah kewajiban ikutan karena
sebelumnya telah timbul kewajiban membayar pajak, karena telah
terpenuhinya syarat subjektif dan objektif.
Hal tersebut di atas mengandung pengertian pula bahwa timbulnya utang
dan kewajiban perpajakan tidak tergantung apakah wajib pajak telah
memiliki NPWP atau belum. Segala hak dan kewajiban perpajakan, termasuk
denda dan berbagai sanksi di bidang perpajakan, serta merta telah
melekat pada wajib pajak sesuai peraturan yang berlaku, pada saat telah
terpenuhinya syarat subjektif dan objektif.
Hak-hak wajib pajak seperti hak untuk mendapatkan pelayanan
perpajakan, mendapatkan konsultasi berkenaan dengan perpajakan,
mendapatkan formulir-formulir perpajakan yang disediakan oleh DJP,
menyampaikan Surat Keterangan Bebas (SKB) dalam hal tidak terutang pajak
sesuai peraturan yang berlaku, hak yang berhubungan dengan pengembalian
atas kelebihan pembayaran pajak (restitusi), hak mengajukan keberatan
dan banding, hak diberlakukan baginya daluwarsa penagihan pajak 5 (lima)
tahun, dan hak perpajakan lainnya sesuai peraturan yang berlaku.
Demikian pula segala kewajiban, denda, sanksi (termasuk sanksi
pidana), dan sebagainya, berkenaan dengan kewajiban perpajakannya, harus
ditunaikan. Kewajiban pajak terutang tersebut diperhitungkan sejak
terpenuhinya syarat subjektif dan objektif, bukan sejak wajib pajak
memiliki NPWP.
Sanksi Pidana Karena Tidak Memiliki NPWP
Sehubungan dengan sanksi pidana, apabila wajib pajak sengaja tidak
mendaftarkan diri untuk diberikan NPWP, dengan berbagai alasan dan
tujuan, sedangkan syarat subjektif dan objektif telah terpenuhi, dan
kesengajaan –untuk tidak mendaftarkan diri– tersebut menimbulkan
kerugian pada pendapatan Negara, yaitu Negara tidak mendapatkan
penerimaan dari pajak yang seharusnya dibayarkan oleh wajib pajak, maka
terhadap wajib pajak akan dipidana dengan pidana penjara paling singkat 6
(enam) bulan dan paling lama 6 (enam) tahun (pasal 39 ayat (1) UU KUP).
Tulisan ini ingin menegaskan sekali lagi sebagai kesimpulan penting,
bahwa wajib pajak yang belum memiliki NPWP, tetapi telah terpenuhi
syarat subjektif dan objektif, tidak dikecualikan dari berbagai hak dan
kewajiban, denda, dan sanksi di bidang perpajakan, termasuk sanksi
pidana, sesuai ketentuan yang berlaku.
Sebagai kelanjutan dari tulisan ini, menarik untuk dikaji kemungkinan
penuntutan pidana di bidang perpajakan sebagai tindak lanjut kegiatan
Ekstensifikasi. Tujuan kegiatan Ekstensifikasi adalah memberikan NPWP
bagi wajib pajak yang belum memiliki NPWP, tetapi pada diri wajib pajak
tersebut terdapat indikasi kuat telah terpenuhi syarat subjektif dan
objektif untuk diberikan NPWP. Dalam hal wajib pajak tersebut sengaja
tidak mendaftarkan diri untuk diberikan NPWP dan menyebabkan kerugian
bagi Negara, maka telah terpenuhi delik tindak pidana di bidang
perpajakan.
Tuntutan pidana menjadi penting dan strategis manakala perbuatan
kesengajaan tersebut dilakukan oleh banyak wajib pajak yang belum
ber-NPWP dan berpotensi menimbulkan sejumlah besar kerugian bagi
penerimaan Negara. Tuntutan pidana diharapkan akan memberikan efek jera
bagi para wajib pajak yang berniat melakukan pelanggaran/kejahatan
serupa.
Menarik untuk menyimak berbagai ketentuan berikut ini:
- Pasal 2 ayat (5) PMK 73/2012: “Jika jumlah penghasilan Wajib Pajak orang pribadi yang tidak menjalankan usaha atau melakukan pekerjaan bebas sampai dengan suatu bulan yang disetahunkan telah melebihi Penghasilan Tidak Kena Pajak, Wajib Pajak tersebut wajib mendaftarkan diri untuk memperoleh NPWP paling lama pada akhir bulan berikutnya”
- Pasal 2 ayat (3) PMK 73/2012: “Wajib Pajak orang pribadi yang menjalankan usaha atau melakukan pekerjaan bebas dan Wajib Pajak badan wajib mendaftarkan diri untuk memperoleh NPWP paling lambat 1 (satu) bulan setelah saat usaha mulai dijalankan”
- Pasal 2 ayat (7) PMK 73/2012: “Wajib Pajak orang pribadi selain Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (3), ayat (4), ayat (5), dan ayat (6) dapat mendaftarkan diri untuk memperoleh NPWP"
Sumber : DIRJEN PAJAK
Reviews:
Post a Comment